Jumat, 14 Agustus 2009

Saya merasa

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa di wisuda menjadi dokter dihadiri oleh keluarga

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa menikah dan memiliki keluarga

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa berkarya menjadi klinisi paling handal atau akademisi paling tinggi

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa memiliki anak dan mendidiknya untuk berguna bagi bangsa dan agama

Saya merasa bahwa saya akan berumur panjang

Hingga bisa berbakti pada orang tua hingga akhir hayatnya


Hingga………

tadi malam

teman saya di tabrak. Teman seangkatan. teman seperjuangan.

tadi malam

saya datang ke UGD dan melihat tubuhnya terpasang infus dan perban… di mulutnya terpasang selang yang mengalirkan udara ke paru-parunya..

tadi malam

saya melihat udara dipompa ke dadanya… monitor terpasang ditubuhnya…

tadi malam

saya melihat darah terus menetes dari kepalanya. cairan terus keluar dari telinganya.

menggenangi lantai dengan darahnya.

Tadi malam

Saya mentaklilkan "Laa Ilaaha Illalaahu" ditelinganya

Tadi malam

ema mardiana, teman saya,

yang hanya dalam beberapa bulan lagi menjadi dokter

Meninggal,


Innalillahi wa Innailahi Raji'un



Hari ini, Saya merenung

Apakah umur saya akan sepanjang yang selama ini saya pikirkan

Wallahu a’lam - hanya ALLAH yang tahu -

Sabtu, 13 Juni 2009

Resep

Ternyata tulisan dokter itu harus bagus.



Legal obligation to write clearly


Doctors are legally obliged to write clearly, as emphasized in the UK Court of Appeal ruling in the following case. A doctor had written a prescription for Amoxil tablets (amoxicillin). The pharmacist misread this and dispensed Daonil (glibenclamide) instead. The patient was not a diabetic and suffered permanent brain damage as a result of taking the drug.


The court indicated that a doctor owed a duty of care to a patient to write a prescription clearly and with sufficient legibility to allow for possible mistakes by a busy pharmacist. The court concluded that the word Amoxil on the prescription could have been read as Daonil. It found that the doctor had been in breach of his duty to write clearly and had been negligent. The court concluded that the doctor's negligence had contributed to the negligence of the pharmacist, although the greater proportion of the responsibility (75%) lay with the pharmacist.


On appeal the doctor argued that the word on the prescription standing on its own could reasonably have been read incorrectly but that various other aspects of the prescription should have alerted the pharmacist. The strength prescribed was appropriate for Amoxil but not for Daonil; the prescription was for Amoxil to be taken three times a day while Daonil was usually taken once a day; the prescription was for only seven days' treatment, which was unlikely for Daonil; and finally, all prescriptions of drugs for diabetes were free under the National Health Service but the patient did not claim free treatment for the drug. All of these factors should have raised doubts in the mind of the pharmacist and as a result he should have contacted the doctor. Therefore, the chain of causation from the doctor's bad handwriting to the eventual injury was broken.


This argument was rejected in the Court of Appeal. The implications of this ruling are that doctors are under a legal duty of care to write clearly, that is with sufficient legibility to allow for mistakes by others. When illegible handwriting results in a breach of that duty, causing personal injury, then the courts will be prepared to punish the careless by awarding sufficient damages. Liability does not end when the prescription leaves the doctor's consulting room. It may also be a cause of the negligence of others.


Source: J R Coll Gen Pract, 1989: 347-8

Senin, 08 Juni 2009

Bukanlah

Sejatinya, bukanlah kondisi seseorang itu yang sedang sakit atau sedang tidak sakit,
yang mampu mengubah kebahagiaan menjadi kesengsaraan.
Namun kondisi jiwa seseoranglah
yang berpotensi membentuk wacana bahagia dan sengsara tersebut.

Janganlah berduka, jangan takut hidup menderita,
karena bisa jadi semua derita
akan menjadi kekuatan dan karunia
selama hidup di dunia

(Abdul Muhsin dalam buku Tetap bahagia di Saat sakit)

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag2

Pada suatu malam di jalan antara malang-kepanjen.

Di tempat praktek seorang dokter, ada seorang pasien yang duduk diruang tunggu, jika ada pasien lain dia mempersilakannya lebih dulu, dia menunggu, dokter itu heran apa yang dia tunggu, tidak biasanya ada pasien seperti itu. Lalu malam semakin larut, setelah tidak ada pasien lainnya, barulah pasien itu masuk.

Pasien itu adalah bapak sudah memiliki cucu berumur sekitar 50an tahun. Ketika ditanya apa keluhannya, bapak itu tidak menjawab, malah mempersilakan pak dokter langsung memeriksa seakan-akan bapak itu merahasiakan sesuatu, dengan penuh keherananan, dokter itu memeriksa fisik bapak itu. dan ternyata setelah memeriksa perut bapak itu, terperanjatlah karena pada bagian liver bapak itu, teraba keras, membesar dan berdungkul-dungkul.

Bapak itu seperti menyadari, lalu setelah pemeriksaan selesai, bapak itu langsung berkata "dokter, apa penyakit saya? tidak perlu ragu menjawab yang sebenarnya." Dokter itu tertegun, betul dia ragu, karena penyakit yang diderita bapak itu bukan sembarangan, jika ternyata salah maka fatal akibatnya. "Sudahlah dokter tidak perlu ragu, bilang saja apa adanya." Seakan-akan mencoba menghapus keraguan dari dokter itu.

Lalu dokter itu menjawab "bapak, sebetulnya ini perlu pemeriksaan lebih lanjut. hanya saja dari pemeriksaan tadi dugaan kuat saya, bapak menderita kanker liver." Bapak itu hanya menunduk, sambil berkata lirih " apakah ada obatnya?" lalu dijawab " jika memang benar kanker liver, maka sampai saat ini belum ada obatnya "

Lalu dengan berkaca-kaca bapak itu mengangkat wajahnya dan berkata :

"ALHAMDULILLAH"

"Tidak semua orang yang akan mati, "diberi tahu" dulu".

Dokter itu kaget, seumur hidupnya tidak pernah ada orang yang divonis terkena kanker mengucapkan syukur seperti itu,

Tidak semua orang dapat mengatakan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah telah memberikan penyakit ini, sehingga ingat dengan kematian, seakan-akan hal itu didepan matanya, memberikan kesempatan bertaubat, memberikan kesempatan meminta maaf terhadap kerabat dan orang yang telah terzhalimi, mendapatkan kesempatan menyelesaikan hutang-hutang. mendapatkan kesempatan menikmati hidup detik, demi detik, menit demi menit, hari demi hari, sebelum akhirnya kematian menjemput.

Tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu.

Mungkin itulah yang dipikirkan bapak itu, bapak itu mengganggap hal yang ditakdirkan kepadanya bukanlah sutau musibah tapi kasih sayang Allah, sehingga ia bisa mempersiapkan segala sesuatunya disaat orang lain mungkin meninggal pada sore hari padahal ketika pagi hari masih segar bugar.


Ternyata sebelumnya bapak itu pernah diperiksa ditempat lain, dan divonis yang sama, untuk menenangkan hatinya dia pergi, tanpa arah, dia naik sembarang bis dan turun disembarang tempat lalu menemui sembarang dokter, sebelum turun di tempat praktek dokter itu, dia telah melewati beberapa dokter lain. namun entah mengapa dia turun di dokter itu. dia tidak tahu mengapa, dia hanya merasa 'sreg' turun di dokter itu.

Yang dia tidak tahu
, bahwa dokter itu adalah dekan di Fakultas kedokteran, Orang terpenting di fakultas yang mendidik ratusan-hingga ribuan dokter tiap tahunnya. orang yang mengisahkan cerita ini dihadapan ratusan calon-calon dokter masa depan. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kisahnya tidak hanya menjadi inspirasi dari dokter itu, tapi juga menjadi inspirasi bagi ratusan bahkan ribuan dokter lain. Bahwa bebas dari penyakit bukanlah satu-satunya jawaban, namun memaknai hidup [yang tersisa] justru itulah jawaban sebenarnya.

it's not only about prolong a life but also quality of life
Bukan hanya menyembuhkan penyakit, tapi yang terpenting adalah meningkatkan kualitas hidup

dan ternyata sekali lagi, tidak ada yang kebetulan. Takdir Allahlah yang menentukan.

Sabtu, 06 Juni 2009

Seakan-akan setengah dewa

"Pak Dokter, musim ini saya nanam apa? saya ikut apa kata Pak Dokter aja"
= di suatu daerah di sekitar lamongan =

"keluhannya bu?"
"Ini dok, saya mau tanya, sebentar lagi anak saya SPMB, bagusnya milih apa ya?"
= di suatu klinik sekitar lawang =


Jumat, 05 Juni 2009

Afraid

I am afraid.
Afraid to my self.
Afraid can't control my Anger
Afraid someday, it will blow up, not to people who i hate, but people who i love.
I am Afraid.

Rabu, 03 Juni 2009

bukan manusia

Mahasiswa FK : " Mas, Stase mana yang paling enak ? "
Koass : " Stase luar donk! "
Mahasiswa FK : " Memang enak gimana mas ? "
Koass : " Karena kita dianggap manusia "
Mahasiswa FK : " Lho emang kalo di RSxx, dianggap apa mas "
Koass : " Dianggap KOASS "
Mahasiswa FK : " ............................. "

[ketika daftar ulang di kampus salah satu universitas di Malang]

Sabtu, 30 Mei 2009

Malpraktek

"Saya mau ke Pak dokter saja, kalo ke dokter lain takut obatnya salah"
" Setelah panjang lebar menjelaskan pada pasiennya jika
dia salah memberikan [dosis] obat anti-nyeri hingga pasiennya gastritis"
= di suatu klinik pinggiran kota malang =



"Pak dokter, apik-an"
(Pak,dokter baik sekali)

Setelah malam sebelumnya berkali-kali gagal memasang infus
hingga tangan pasien penuh dengan hematome dan darah muncrat dimana-mana
= di salah satu RS di malang =



Ternyata

[Tuntutan] Malpraktek itu bukan karena dokternya Salah
tapi karena Pasiennya Marah

Jumat, 22 Mei 2009

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag 1

DiLemmA eps : Beritahu atau Tidak ???


Suatu ketika teman saya pernah cerita tentang anak kodok yg berlomba menanjak gunung paling tinggi...


Begini ceritanynya, ada perlombaan antar anak kodok dari seluruh negeri. Lalu dikumpulkanlah anak-anak kodok untuk berlomba menaiki gunung. Gunung itu sangat tinggi, hampir-hampir tidak ada yang percaya ada yang bisa menaiki gunung itu.


Dimulailah lomba itu, ditonton oleh banyak kodok-kodok yang lain dan saling berteriak, lalu mulai mendaki lah anak-anak kodok itu, di setiap tanjakan dan persimpangan, penonton mulai berteriak " tidak mungkin kamu bisa naik, gunung itu sangat tinggi".. lalu yang lain menimpali "mustahil ada yg bisa sampai".. dan terus seperti itu di setiap persimpangan jalan.


Satu persatu anak-anak kodok itu berguguran, menyerah, lelah dan kalah..

tapi sebagian lagi terus mencoba dan mencoba, tapi semakin mereka mencoba semakin keras lah teriakan para penonton. Hingga akhirnya hampir semua menyerah kecuali segelintir saja, seiiring makin curam tanjakan dan teriakan penonton itu semakin keras lagi. "Wah tinggi sekali, tidak mungkin ada yang bisa sampai", "betul tidak mungkin ada yang sampai," timpal yang lain.

Lalu akhirnya dari segelintir itu hanya ada satu yang bertahan, terus menanjak perlahan, terus dan terus walaupun orang disekelilingnya berteriak, tapi dia tetap menanjak dan terus menanjak, dia bukanlah kodok terkuat dan tercepat, malah sebenarnya dia lebih lambat dari yg lain, hanya satu hal yang berbeda, dia tidak berhenti menanjak dan terus menanjak hingga akhirnya mencapai puncak.


tahukah kawan kenapa dia terus menanjak tanpa peduli omongan orang disampingnya ?

karena tentu karena dia KODOK yg TULI !!


Ketika mendengar ini saya teringat kembali dengan istilah dream killer, pembunuh impian, mungkin saja saya salah satu pelakunya, dan bahkan sekaligus juga sebagai salah satu korbannya. Tentu saja, seorang dream killer tidak sekejam kedengarannya, dan bahkan bisa saja dia tidak sadar dirinya jika dirinya dream killer. Sedikit banyak mungkin kita pernah menjadi dream killer karena kita beranggapan harus "realistis" -realistis menurut kita-


Namun apakah kita harus mendukung semua impian, walaupun tidak realistis, tentu saja jawabanya tidak bisa sesimple hitam dan putih.


Suatu ketika, ketika merawat pasien yang sudah terminal, saya ditanya oleh keluarganya, "dok, apakah bapak saya bisa sembuh?". Jika saya jawab mungkin, tentu saja mungkin, karena di dunia ini tidak ada mustahil, tapi berapa besarkah kemungkinan itu? sehingga tetap saja harus realistis. Apalagi ketika itu harus "berperan" sebagai dokter harus objektif.

Harus tau, kapan pengobatan medis bisa bermanfaat, kapan pengobatan medis tidak lagi berguna.

"Kita boleh bersimpati tapi tidak boleh berempati." itulah yang berulang-ulang diucapkan oleh dosen saya, walau [ketika itu] saya belum tahu maksudnya.


Jadi saya tenang menjawab "bu, dengan obat maka gejalanya akan berkurang, namun karena hatinya sudah rusak maka sulit untuk kembali seperti semula", atau dilain kesempatan saya dengan tenang berkata " bu, mungkin bapak tidak akan lama lagi, lebih baik ibu berada disampingnya, mendoakan". Apakah itu dream killer, saya rasa bukan, karena sudah tugas kita harus objektif. toh saya juga tidak terlalu kenal dengan keluarga itu, jadi saya bisa dengan mudah berkata apa adanya.


Hingga suatu saat, ketika jaga malam, saya mengobrol dengan bapak yang sedang menunggu anaknya sakit karena alergi obral, ngobrol kesana kemari, dan hingga kami merasa dekat. ketika bapak itu bertanya kondisi anaknya, tentu saja saya menenangkannya untuk "jangan khawatir".

Tentu saja saya tahu ada resiko dan komplikasi ini dan itu, tapi saya berfikir untuk apa saya menambah kekhawatiranya. kenapa karena saya waktu itu berempati, saya merasakan kesusahannya sebagai kesusahan saya juga.


Hingga tanpa disangka pada pagi harinya

" anak bapak itu meninggal "


Saat itulah saya baru tahu arti apa yang dikatakan dosen saya.

"dokter itu harus bersimpati tapi tidak berempati"


Saat itu saya baru merasakan bahwa empati itu mengacaukan objektivitas.


Kamis, 21 Mei 2009

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag 3 (beres)


Beritahukankah? bag 3

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...


ketika mendengar kedua cerita itu, saya tidak pernah mengira akan bertemu dengan pasien kanker liver, bertemu bukan sebagai hubungan dokter pasien, tapi sebagai teman, atau selayaknya saudara.


hingga suatu saat.. ketika saya harus menunggui paman saya dirumah sakit khusus kanker.


Saya bertemu ibu yang suaminya dirawat karena kanker liver, satu-satunya orang yg memakai jilbab di rumah sakit itu, dari segelintir orang muslim disana. ketika baru bertemu, saya bertanya padanya "siapa yg sakit bu?", "suami saya" balasnya, "ooh sakit apa" lanjut saya, diapun menjawab "kanker liver, alhamdulillah sudah membaik", dalam hati, saya berkata "kanker liver, tentu saya tahu "apa artinya", tapi ketika mendengar "alhamdulillah sudah membaik" saya diam dan teringat cerita kodok tadi, saya percaya mungkin saja suami ibu ini akan menjadi satu-satunya kodok yang naik ke puncak, dan tentu saja saya tidak mau menjadi kodok-kodok yang meneriaki peserta lomba itu, kenapa, karena saat itu saya bukan dokter, saya hanya teman ibu itu, yang berbagi kesedihan dan harapan. Harapan untuk kesembuhan. walaupun sebenarnya saya tahu apa "arti" harapan itu.


Sebagai satu-satunya orang sebangsa, sesuku dan se-iman yang saya kenal dekat dinegara itu (tentunya disamping paman saya). saya sungguh berharap suami ibu itu sembuh. walaupun ingin sekali saya ceritakan apa yang diceritakan dekan saya kepadanya, tapi saya berfikir, ah apakah itu tidak menghancurkan harapannya, lalu saya terdiam.


Beberapa hari kemudian, ketika dalam perjalanan menemani ibu itu membeli souvenir, karena beliau dan suaminya akan pulang, kenapa ? sembuhkah ? ternyata tidak, dokter menyatakan sudah "angkat tangan", ternyata sebelumnya juga dokter pernah bilang seperti itu, tapi ibu itu tidak menyerah, dan berkata kepada dokter itu untuk jangan menyerah. tapi sekarang sepertinya semua pengobatan sudah dicoba dan hasilnya tidak sesuai harapan.


Pada ibu itu saya lihat kekecewaan tapi tidak saya lihat keputusaan, saya lihat optimisme bahwa suaminya akan sembuh -walaupun bukan disini-, saya lihat semangatnya.


Pada saat itulah saya bercerita, tentang cerita dekan saya -cerita yang benar-benar merubah paradigma saya, apa itu sembuh, apa itu sakit-, saya bercerita tentang kesembuhan yang bukan hanya terbebas dari penyakit, tapi menerima bahwa dia sakit dan tidak putus asa untuk itu juga disebut sembuh,tentang terbebas dari nyeri itu juga sembuh, tentang bisa beraktivitas tanpa bantuan orang itu juga sembuh.

Mendekatkan diri kepada yg Maha Memiliki dan ikhlas menerima apa yang ada itu juga disebut sembuh....


lalu kami terdiam.....


Tidak lepas optimisme dari ibu itu bahwa suaminya akan sembuh, beliau juga memutuskan bahwa tidak perlu memberitahu suaminya mengenai penyakitnya, saya setuju, karena saya berharap, sungguh berharap, suaminya adalah "satu-satunya kodok yang mencapai puncak" saya sungguh berharap bahwa suaminya sembuh,


Lalu dua bulan kemudian,,,

jam 8.30 pagi ketika makan pagi dan melakukan rutinitas sebagai koass. HP saya berdering. kring..kring..
"ini naufal?", "iya" jawab saya, lalu ibu itu berkata :
"suami saya sudah meninggal hari jumat kemarin"
Innalillahi wa innalillahi raji'un



Selasa, 19 Mei 2009

Jangan Lupa,


kata bapakku :
" Dimana pun kau berada
Jangan lupa, darimana kau berasal "
----------------------------------------------------

Minggu, 17 Mei 2009

Mimpi

Kurindukan ketika dahulu kita bermain bersama
......
Kurindukan ketika dahulu kita tertawa bersama
......
Kurindukan ketika dahulu kita belajar bersama

.............
Kurindukan ketika dahulu kita berjuang bersama
.........

Kurindukan..
Mimpi kita

….bersama, Merubah Dunia…

dunia kita, Indonesia

Kamis, 14 Mei 2009

- Hari ini -

" Hari ini adalah hari Kita
Bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala keburukannya
& Bukan juga hari esok yang belum tentu datangnya
Umur kita mungkin tinggal HARI INI
Maka anggaplah masa hidup kita hanya HARI INI saja,
Dengan begitu kita tak akan tercabik-cabik diantara
Kerasahan,
Kesedihan,
& Duka masa lalu
Tidak Pula oleh Bayangan masa depan penuh ketidakpastian & acap kali menakutkan.
Jadi berikanlah yang terbaik untuk akhirat dan duniamu

- HARI INI-

(Aidh Al Qarni)

Sabtu, 02 Mei 2009

Our Job :

Tugas kita :

Dahulu entah SMP,, entah SMA ada film yang saya senangi, judulnya ER, bercerita tentang kehidupan dokter di ruang gawat darurat, dengan berbagai ceritanya, pasien masuk dengan kondisi yang parah dan dapat selamat, saya paling senang ketika melihat pasien dengan henti jantung karena VT lalu di DC shock dan akhirnya selamat.
mungkin film itulah yang merasuk kedalam alam bawah sadar saya, sehingga saya memilih masuk kedokteran, walaupun sepertinya bukan minat dan bakat saya. Saya ingin menyelamatkan orang, sesimple itu pikiran saya.


6 tahun berikutnya

4 tahun 3 bulan belajar dikampus dan akhirnya ..
lulus jadi sarjana kedokteran, saatnya menjalani masa klinik, masa yang ditunggu dengan cemas-cemas harap [lebih banyak cemasnya], lalu saya stase bagian penyakit dalam, lalu apa yg terjadi ternyata ER itu memang hanya film fiksi, kenyataanya begitu sedikit pasien yang sebenarnya dapat disembuhkan, di penyakit dalam saya menemukan banyak sekali pasien gagal ginjal yang harus cuci darah 2 minggu sekali, pasien dengan sirosis hepatis dengan bengkak seluruh tubuh, satu-satunya terapi yaitu transplantasi. dan negara kita, transplantasi sepertinya masih mimpi.
Banyak juga Pasien kanker yang sudah terminal, dan lainnya, dan memang Begitu banyak pasien yang dalam tanda kutip "tidak bisa disembuhkan", dan oh begitu banyak. Lalu saya mulai berfikir sebenarnya untuk apa saya jadi dokter, tidak seperti film ER, disini begitu banyak pasien yang hanya tinggal menunggu ajalnya tiba.
Lalu saya stase ruang 29, ruang khusus HIV, pasien kurus, yang hanya diselimuti kulit tanpa daging, mulut penuh dengan jamur candida, lemah tidak berdaya, lalu keluarga pasien yang menunggui disampingnya entah sampai kapan... saya berfikir dokter itu bisa APA??!! apakah hanya bisa mengobati batuk, pilek, panas sajakah...
atau apakah pasien itu harus punya ratusan juta untuk mendapat terapi yang seharusnya dilakukan. Kemoterapi, transplantasi, operasi, itu semua makan biaya yang luar biasa mahalnya, jika pasien tidak mampu, lalu dokter bisa apa??

ah.. saya kehilangan arah
hingga suatu ketika

morning report, salah satu dosen bercerita..
sebenarnya apa sih tugas seorang dokter?

what a job of a doctor??
he says :
to cure is seldom
to relieve is often
to comfort is always
that a job of a doctor

aahh..
benar sekali, memang sangat sedikit penyakit yang bisa disembuhkan oleh dokter, seringkali penyakit itu hanya dikurangi, atau dihambat agar tidak kambuh, dan ternyata tugas seorang dokter itu membuat pasien nyaman (comfortable), nyaman dalam arti luas, termasuk menerima penyakitnya (accepting).

benar membantu agar pasien menerima penyakitnya, membantu pasien dan juga keluarganya menerima, bahwa penyakitnya "tidak" bisa disembuhkan hanya bisa "dikendalikan".

hingga suatu ketika ada pasien HIV, masih muda, sekitar 26 tahun, tidak sadar, dengan tubuh kurus kering, ditunggui oleh ayahnya 24 jam sehari selama seminggu, dengan biaya sendiri (bukan gakin), dalam sehari menghabiskan ratusan ribu. Penyakit yang sudah jelas akhirnya dan entah sampai kapan harus dirawat.
Lalu Kita bisa berkata pada bapaknya : " pak, semoga ikhlas ya pak, karena jika ikhlas maka ALLAH yang membalasnya, tenaga, waktu dan biaya yang bapak keluarkan semoga diganti berlipat-lipat oleh ALLAH, karena jika tidak ikhlas maka segala usaha bapak sia-sia, tidak mendapat apapun selain letih dan lelah", mencoba membantu bapak itu menerima takdirnya dan mencari hikmah dibaliknya. dengan kata lain membuatnya nyaman - to comfort.

hingga 5 hari kemudian, ketika pasien itu meninggal, bapak menangis dan memeluk kita sambil berkata :

" terimakasih, dok".


Jumat, 20 Maret 2009

Sabar...

Pernahkah kawan...
bingung nyari kost...cari kesana kemari, nyari tempat yg cocok, murah dan nyaman, temennya enak2, bersih,ada tempat parkir.... pernahkah..???

terus terang saya ga pernah kayak gitu...
waktu kost pertama ke malang ya dicariin.. suka ga suka ya terima aja... tempatnya enak, kalo bangun tidur kita langsung liat pemandangan gunung terhampar, matahari pagi langsung masuk kamar, tenang, dingin,... serasa digunung.. pokoknya enak, walo ga ada tempat parkir, ga masalah.. karena emang ga punya motor apalagi make (waktu itu).

nah hari pertama keluar kamar, mau minjem gunting.. lalu buka barang-barang, ketok pintu kamar yg lain.. tok..tok..tok... dibukainlah oleh seorang cowo... saya tanya, 'mas punya gunting?" .. "oh ada, sebentar ya.." dicarikanlah gunting, saya melihat kedalam kamarnya ada orang lain ditempat tidurnya, dalam selimut, oh disini satu kamar bisa berdua, pikirku. tapi kok kasurnya cuma satu ya, oh temennya kali pikirku. lalu tiba-tiba, orang dalam selimut itu berbalik, sambil ngomong "mas, ada siapa", "ada temen kost, minjem gunting" .......

BLEH..BLEH.. ternyata itu cewe kawan, cewe ditempat tidur dalam selimut.. jangan mencoba berfikir mereka abis ngapain.. yang saya pikirkan kaburlah secepetnya. "mas kalo ga ada ga usah, nanti saya pinjem dari yg lain aja"... bayangkan lah kawan hari pertama di kota orang, kota asing, yg ga kenal siapapun... bleh.. bleh.. bleh..

cuma pikir satu hal.. cari tempat kost lain aaaahhhhh.. sebelum terlambat...

tapi cari di mana ya??


sekali lagi kawan, saya tidak pernah bingung nyari kost, yaa.. memang sih mencari.. tapi tidak pernah bingung.. hingga 1 bulan sebelahnya ada temen yg nawarin kost, deket kampus (deket banget bahkan), cuma tempat dipinggir jalan (17 tahun tinggal dipinggir jalan..kawan..17 tahun.. masa jauh-jauh ke kota yg tenang,indah dan bersih, akhirnya harus tinggal dipinggir jalan, berdebu dan berisik lagi...).. walaupun sewanya lebih mahal, walaupun ga bisa lihat gunung lagi.. tapi saya milih kost itu, tahukah kawan kenapa ... saya beritahu.. karena disitu ada masjid besar, dekat sekali dengan kost, cuma berapa langkah, maka saya pilihlah itu.. saya juga tidak tahu kenapa saya senang milih kost dekat masjid itu..

nah karena dekat masjid, rasanya tidak enak kalo tidak sholat di masjid .. rasanya tidak enak..saya tidak tahu, kenapa saya merasa tidak enak...jika adzan tidak kemasjid serasa tidak enak.. ya.. walaukadang tidak kemasjid karena alasan atau kemalasan.. tapi tetap saja rasanya tidak enak.. saya tidak tahu kenapa.. walaupun yg satu kost ada 3 orang yang rajin ke masjid, tapi seringkali saya sendiri, kenapa? karena yg lain sibuk, jarang dikost.

saya juga sering ke kost temen, kontrakan sih sebenernya, sekitar 1 kilo dari tempat saya, sering kesana, jalan kaki, saya senang disana, kenapa? karena mereka tiap adzan semuanya..ingat semuanya kawan keluar bersama-sama ke masjid... iya saya senang disana, dan sepertinya lebih sering disana dibanding di tempat kost sendiri..

KAWAN... pasti menyangka saya menceritakan tentang kost,..atau tentang kesenanganku.. ato menyangka saya menceritakan tentang sholat di masjid.. BUKAN kawan.. bukan.. saya bukan mau menceritakan tentang itu semua.. saya mau menceritakan tentang ABAH.. ya bapaku.. ayahku... tentang abah..

pasti kalian bertanya .. lho kok bisa .. apa hubungannya.. apa hubungannya cerita kost dan kesenanganku dengan abah..

begini kawan saya ceritakan...

saya selalu ingin tahu kawan, selalu bertanya KENAPA.. bahwa tidak ada yang disebut kebetulan.. tidak ada yg disebut ya..memang kayak gitu.. tiap HAL selalu ada alasannya kawan, selalu ada penyebabnya, selalu ada hikmah dibaliknya...

nah kawan ingat tadi saya bilang saya tidak tahu kenapa saya senang milih kost dekat masjid, saya tidak tahu kenapa saya tidak enak kalo tidak sholat dimasjid.. saya tidak tahu, karena itu saya merenungi alasannya.. kenapa..kenapa..kenapa... hingga saya ingat abah..

tahukah kawan kenapa saya ingat abah ?? begini ceritanya.. dikost dekat masjid itu, saya mengajak teman kost tuk sholat di masjid, sekali.. dua kali.. tiga kali.. mengajak.. dikost sajalah kata mereka.. ya sudahlah kata saya, terserah.. hanya tiga kali dan saya sudah malas mengajak.. hanya tiga kali kawan .. saya menyerah..

lalu saya ingat abah..

kenapa?.. karena beliau selalu mengajak saya sholat tiap adzan berkumandang .. sholat kah saya?, tentu TIDAK, karena saya masih sibuk ngegame atau nonton, toh waktunya masih lama.. lalu dia mengingatkan lagi tiap 30 menit.. sholat kah saya?.. jawabannya sudah ditebak, tentu saja TIDAK karena malasnya.. lalu hingga injury time (sudah hampir habis masuknya) dengan nada yg lebih tinggi (tapi tidak tinggi kawan.. abahku tidak pernah mengeluarkan nada tinggi) abahku menyuruh saya sholat, dan sholat lah saya..

itu berulang terus kawan.. mulai saya SD kelas 6 sampai SMA.. Tujuh tahun kawan.. tujuh tahun.. dan saya selalu mengulang hal yg sama, menunda-nunda sampai injury time.. beliau tidak marah dan juga tidak menyerah.. tujuh tahun , beliau selalu mengulang hal yang sama setidaknya 3 kali (shubuh, magrib, isya) coba hitung kawan berapa ribu kali mengulang hal yang sama.. apakah saya turuti.. tentu TIDAK kawan.. saya selalu sholat di injuri time (kecuali magrib tentunya) tapi beliau tetap sabar.. sabar kawan.. sabar terus mengingatkan....... sedangkan saya hanya 3 kali kawan - hanya 3 kali saja sudah berhenti...

sekali lagi mungkin kalian menyangka saya menceritakan tentang abah yang menyuruh sholat.. bukan..bukan itu kawan, saya menceritakan hikmah kesabaran kawan.. keSABARAN.. kesabaran abah yg menyuruh sholat yang selama 7 tahun.. kesabaran abah yang seringkali tidak dituruti tapi tetap sabar.. tentang keSABARAN kawan.. tentang kesabaran menasehati kawan, sungguh sulit, karena hasilnya tidak terlihat kawan.. betul .. hasilnya tidak terlihat.. saya mulai rutin sholat dimasjid ketika kuliah .. 600 Kilometer dari beliau, 18 jam perjalanan darat.. jauh.. tidak mungkin beliau melihat, dan tidak juga beliau tahu..toh saya juga tidak cerita.. tapi itulah kawan buah kesabaran...

ketika saya jauh dari beliau.. otomatis (ingat kawan sebetulnya saya tidak percaya otomatis..tidak juga kebetulan.. selalu ada alasan dibalik sesuatu.. hanya saja kadang kita "tidak tahu") hal yang selalu dia suruh dan ingatkan (dan tidak saya kerjakan) otomatis saya kerjakan.. (padahal kawan saya tidak lagi disuruh)..

coba bayangkan kawan jika ternyata abah saya tidak sesabar itu.. dan saya berada di kost yang pertama itu.. mungkin nanti pintu sayalah yang diketuk karena ada teman saya mau minjem gunting, dan ketika dibukakan dia melihat ada orang lain berselimut di kasur saya.. ... ...

maka saya tidak heran kawan.. jika ada orang jauh dari rumah, sendirian, kost yang bebas, gejolak anak muda, merasa lepas bebas lalu kebablasan.. saya tidak heran kawan.. saya tidak heran..

lalu saya teringat tulisan di blog teman saya.

"
Karena kesabaran itu bukanlah diam yang menunggu
Tapi ia adalah kegigihanmu untuk terus berjuang"

iya, berjuang dalam kesabaran..

Kamis, 05 Maret 2009

Benarkah Indonesia Mayoritas Muslim??

Kadang kita berfikir, kok Indonesia dengan penduduk muslim terbesar didunia, kok korupsinya terbesar juga, ditambah juga stigma jelek bahwa orang Indonesia ga taat aturan, kotor, ngurus sampah ga beres, Ga disiplin, Jam Karet, dan bejibun stigma jelek lain….


Bahkan dosen saya bilang kalo di cina, walopun komunis penduduknya jujur-jujur, tapi di Indonesia walo agamis tapi tukang nyolong…. Jadi ga ada kaitannya tuh antara Agama dan Prilaku….. weleh..weleh.. jadi agama deh yang salah….


Walopun, pasti ada yg berfikir wah itukan tergantung orangnya, ato untung Indonesia masih muslim, coba ga bisa lebih hancur lagi kali,…. Ato pikiran lainnya… tapi tetep aja fakta menyatakan bahwa Mayoritas penduduk INDONESIA adalah MUSLIM, dan FAKTA juga bilang KORUPSI INDONESIA, 10 Besar DUnia, …… nah lho…..


Eit… tunggu bener kah Indonesia mayoritas muslim???


Coba kita liat dulu.. nah… Islam kan punya rukun.. disebut rukun islam, kayak sholat ,juga punya rukun sholat… nah kalo yg namanya rukun ga dijalanin, berarti ga sah…. Misalnya gini… takbiratul ihram kan rukun sholat tuh… nah kalo kita ga lakuin takbiratul ikhram, jadi ga sah donk sholatnya… alias batal… setuju ???!!!

Nah sekarang kita aplikasiin ke rukun Islam kan ada 5 tuh

1. Syahadat

2. Sholat

3. Zakat

4. Shaum

5. Naik haji bagi yg mampu….


Nah, sekarang kita liat…


Syahadat… jelas lah…


Nah sekarang sholat…


Coba kita hitung, dari sekian banyak penduduk Indonesia yg 210 juta itu, berapa yg muslim kita taroh 90% lah …jadi sekitar sekitar 190 jt orang nah dari sekian itu kita hitung yg belum balig ada 30%nya sekitra 60jt sisanya 130 juta orang … nah ini lah yg wajib sholat…. Nah dari 130 jt orang itu kira-kira berapa yg sholat …. 90%...80%....50%.....30%....apa malah kurang dari 10%.... inget ini itungannya seluruh Indonesia lho bukan cuma dikomunitas pesantren aja (yg mayoritas pada sholat)… coba aja yg udah berkantor di Jakarta or surabaya coba liat temen sekerja dari 1 gedung berapa yg sholat dzhuhur ama ashar?? Ayo coba itung, apa Ada 50%?? Ato misalnya supir angkot dan bus coba liat yg sholat berapa?? Ato pedagang mulai dari pedagang sayur sampe pedagang saham, coba hitung, kira-kira yg sholat berapa persen?? Ato bahkan dokter!!! Coba liat yg sholat berapa banyak?? (padahal dokter lho…) nah…..lho…..


Coba kalo ternyata yg sholat itu ‘cuma’ 10% berarti ‘cuma’ 13 juta orang…. Dan kayaknya jumlah segitupun masih kebanyakan lho.. apa lagi kalo diitung yang sholatnya GAk ‘belang bentong’ alias bolong-bolong…… nah kalo lanjut......, ampe ga tega kalo harus ngitung, berapa sih orang yg sholatnya rutin jamaah di Masjid…. (ya … jangan terlalu berharap lah…)

Nah…lho… ini padahal baru rukun ke-2…baru sholat doank.. ga tau deh kalo harus lanjut… ga tega ngitungnya…..


Jadi kalo begitu MASIHKAH kita bisa menyebut INDONESIA MAYORITAS PENDUDUKNYA MUSLIM????


NAH … LHO….


N.B Menurut anda?????




Guangzhou, 19 Februari 2009