Jumat, 22 Mei 2009

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag 1

DiLemmA eps : Beritahu atau Tidak ???


Suatu ketika teman saya pernah cerita tentang anak kodok yg berlomba menanjak gunung paling tinggi...


Begini ceritanynya, ada perlombaan antar anak kodok dari seluruh negeri. Lalu dikumpulkanlah anak-anak kodok untuk berlomba menaiki gunung. Gunung itu sangat tinggi, hampir-hampir tidak ada yang percaya ada yang bisa menaiki gunung itu.


Dimulailah lomba itu, ditonton oleh banyak kodok-kodok yang lain dan saling berteriak, lalu mulai mendaki lah anak-anak kodok itu, di setiap tanjakan dan persimpangan, penonton mulai berteriak " tidak mungkin kamu bisa naik, gunung itu sangat tinggi".. lalu yang lain menimpali "mustahil ada yg bisa sampai".. dan terus seperti itu di setiap persimpangan jalan.


Satu persatu anak-anak kodok itu berguguran, menyerah, lelah dan kalah..

tapi sebagian lagi terus mencoba dan mencoba, tapi semakin mereka mencoba semakin keras lah teriakan para penonton. Hingga akhirnya hampir semua menyerah kecuali segelintir saja, seiiring makin curam tanjakan dan teriakan penonton itu semakin keras lagi. "Wah tinggi sekali, tidak mungkin ada yang bisa sampai", "betul tidak mungkin ada yang sampai," timpal yang lain.

Lalu akhirnya dari segelintir itu hanya ada satu yang bertahan, terus menanjak perlahan, terus dan terus walaupun orang disekelilingnya berteriak, tapi dia tetap menanjak dan terus menanjak, dia bukanlah kodok terkuat dan tercepat, malah sebenarnya dia lebih lambat dari yg lain, hanya satu hal yang berbeda, dia tidak berhenti menanjak dan terus menanjak hingga akhirnya mencapai puncak.


tahukah kawan kenapa dia terus menanjak tanpa peduli omongan orang disampingnya ?

karena tentu karena dia KODOK yg TULI !!


Ketika mendengar ini saya teringat kembali dengan istilah dream killer, pembunuh impian, mungkin saja saya salah satu pelakunya, dan bahkan sekaligus juga sebagai salah satu korbannya. Tentu saja, seorang dream killer tidak sekejam kedengarannya, dan bahkan bisa saja dia tidak sadar dirinya jika dirinya dream killer. Sedikit banyak mungkin kita pernah menjadi dream killer karena kita beranggapan harus "realistis" -realistis menurut kita-


Namun apakah kita harus mendukung semua impian, walaupun tidak realistis, tentu saja jawabanya tidak bisa sesimple hitam dan putih.


Suatu ketika, ketika merawat pasien yang sudah terminal, saya ditanya oleh keluarganya, "dok, apakah bapak saya bisa sembuh?". Jika saya jawab mungkin, tentu saja mungkin, karena di dunia ini tidak ada mustahil, tapi berapa besarkah kemungkinan itu? sehingga tetap saja harus realistis. Apalagi ketika itu harus "berperan" sebagai dokter harus objektif.

Harus tau, kapan pengobatan medis bisa bermanfaat, kapan pengobatan medis tidak lagi berguna.

"Kita boleh bersimpati tapi tidak boleh berempati." itulah yang berulang-ulang diucapkan oleh dosen saya, walau [ketika itu] saya belum tahu maksudnya.


Jadi saya tenang menjawab "bu, dengan obat maka gejalanya akan berkurang, namun karena hatinya sudah rusak maka sulit untuk kembali seperti semula", atau dilain kesempatan saya dengan tenang berkata " bu, mungkin bapak tidak akan lama lagi, lebih baik ibu berada disampingnya, mendoakan". Apakah itu dream killer, saya rasa bukan, karena sudah tugas kita harus objektif. toh saya juga tidak terlalu kenal dengan keluarga itu, jadi saya bisa dengan mudah berkata apa adanya.


Hingga suatu saat, ketika jaga malam, saya mengobrol dengan bapak yang sedang menunggu anaknya sakit karena alergi obral, ngobrol kesana kemari, dan hingga kami merasa dekat. ketika bapak itu bertanya kondisi anaknya, tentu saja saya menenangkannya untuk "jangan khawatir".

Tentu saja saya tahu ada resiko dan komplikasi ini dan itu, tapi saya berfikir untuk apa saya menambah kekhawatiranya. kenapa karena saya waktu itu berempati, saya merasakan kesusahannya sebagai kesusahan saya juga.


Hingga tanpa disangka pada pagi harinya

" anak bapak itu meninggal "


Saat itulah saya baru tahu arti apa yang dikatakan dosen saya.

"dokter itu harus bersimpati tapi tidak berempati"


Saat itu saya baru merasakan bahwa empati itu mengacaukan objektivitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar