Sabtu, 30 Mei 2009

Malpraktek

"Saya mau ke Pak dokter saja, kalo ke dokter lain takut obatnya salah"
" Setelah panjang lebar menjelaskan pada pasiennya jika
dia salah memberikan [dosis] obat anti-nyeri hingga pasiennya gastritis"
= di suatu klinik pinggiran kota malang =



"Pak dokter, apik-an"
(Pak,dokter baik sekali)

Setelah malam sebelumnya berkali-kali gagal memasang infus
hingga tangan pasien penuh dengan hematome dan darah muncrat dimana-mana
= di salah satu RS di malang =



Ternyata

[Tuntutan] Malpraktek itu bukan karena dokternya Salah
tapi karena Pasiennya Marah

Jumat, 22 Mei 2009

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag 1

DiLemmA eps : Beritahu atau Tidak ???


Suatu ketika teman saya pernah cerita tentang anak kodok yg berlomba menanjak gunung paling tinggi...


Begini ceritanynya, ada perlombaan antar anak kodok dari seluruh negeri. Lalu dikumpulkanlah anak-anak kodok untuk berlomba menaiki gunung. Gunung itu sangat tinggi, hampir-hampir tidak ada yang percaya ada yang bisa menaiki gunung itu.


Dimulailah lomba itu, ditonton oleh banyak kodok-kodok yang lain dan saling berteriak, lalu mulai mendaki lah anak-anak kodok itu, di setiap tanjakan dan persimpangan, penonton mulai berteriak " tidak mungkin kamu bisa naik, gunung itu sangat tinggi".. lalu yang lain menimpali "mustahil ada yg bisa sampai".. dan terus seperti itu di setiap persimpangan jalan.


Satu persatu anak-anak kodok itu berguguran, menyerah, lelah dan kalah..

tapi sebagian lagi terus mencoba dan mencoba, tapi semakin mereka mencoba semakin keras lah teriakan para penonton. Hingga akhirnya hampir semua menyerah kecuali segelintir saja, seiiring makin curam tanjakan dan teriakan penonton itu semakin keras lagi. "Wah tinggi sekali, tidak mungkin ada yang bisa sampai", "betul tidak mungkin ada yang sampai," timpal yang lain.

Lalu akhirnya dari segelintir itu hanya ada satu yang bertahan, terus menanjak perlahan, terus dan terus walaupun orang disekelilingnya berteriak, tapi dia tetap menanjak dan terus menanjak, dia bukanlah kodok terkuat dan tercepat, malah sebenarnya dia lebih lambat dari yg lain, hanya satu hal yang berbeda, dia tidak berhenti menanjak dan terus menanjak hingga akhirnya mencapai puncak.


tahukah kawan kenapa dia terus menanjak tanpa peduli omongan orang disampingnya ?

karena tentu karena dia KODOK yg TULI !!


Ketika mendengar ini saya teringat kembali dengan istilah dream killer, pembunuh impian, mungkin saja saya salah satu pelakunya, dan bahkan sekaligus juga sebagai salah satu korbannya. Tentu saja, seorang dream killer tidak sekejam kedengarannya, dan bahkan bisa saja dia tidak sadar dirinya jika dirinya dream killer. Sedikit banyak mungkin kita pernah menjadi dream killer karena kita beranggapan harus "realistis" -realistis menurut kita-


Namun apakah kita harus mendukung semua impian, walaupun tidak realistis, tentu saja jawabanya tidak bisa sesimple hitam dan putih.


Suatu ketika, ketika merawat pasien yang sudah terminal, saya ditanya oleh keluarganya, "dok, apakah bapak saya bisa sembuh?". Jika saya jawab mungkin, tentu saja mungkin, karena di dunia ini tidak ada mustahil, tapi berapa besarkah kemungkinan itu? sehingga tetap saja harus realistis. Apalagi ketika itu harus "berperan" sebagai dokter harus objektif.

Harus tau, kapan pengobatan medis bisa bermanfaat, kapan pengobatan medis tidak lagi berguna.

"Kita boleh bersimpati tapi tidak boleh berempati." itulah yang berulang-ulang diucapkan oleh dosen saya, walau [ketika itu] saya belum tahu maksudnya.


Jadi saya tenang menjawab "bu, dengan obat maka gejalanya akan berkurang, namun karena hatinya sudah rusak maka sulit untuk kembali seperti semula", atau dilain kesempatan saya dengan tenang berkata " bu, mungkin bapak tidak akan lama lagi, lebih baik ibu berada disampingnya, mendoakan". Apakah itu dream killer, saya rasa bukan, karena sudah tugas kita harus objektif. toh saya juga tidak terlalu kenal dengan keluarga itu, jadi saya bisa dengan mudah berkata apa adanya.


Hingga suatu saat, ketika jaga malam, saya mengobrol dengan bapak yang sedang menunggu anaknya sakit karena alergi obral, ngobrol kesana kemari, dan hingga kami merasa dekat. ketika bapak itu bertanya kondisi anaknya, tentu saja saya menenangkannya untuk "jangan khawatir".

Tentu saja saya tahu ada resiko dan komplikasi ini dan itu, tapi saya berfikir untuk apa saya menambah kekhawatiranya. kenapa karena saya waktu itu berempati, saya merasakan kesusahannya sebagai kesusahan saya juga.


Hingga tanpa disangka pada pagi harinya

" anak bapak itu meninggal "


Saat itulah saya baru tahu arti apa yang dikatakan dosen saya.

"dokter itu harus bersimpati tapi tidak berempati"


Saat itu saya baru merasakan bahwa empati itu mengacaukan objektivitas.


Kamis, 21 Mei 2009

Dilemma : Beritahu atau Tidak (Penyakitnya) - bag 3 (beres)


Beritahukankah? bag 3

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...


ketika mendengar kedua cerita itu, saya tidak pernah mengira akan bertemu dengan pasien kanker liver, bertemu bukan sebagai hubungan dokter pasien, tapi sebagai teman, atau selayaknya saudara.


hingga suatu saat.. ketika saya harus menunggui paman saya dirumah sakit khusus kanker.


Saya bertemu ibu yang suaminya dirawat karena kanker liver, satu-satunya orang yg memakai jilbab di rumah sakit itu, dari segelintir orang muslim disana. ketika baru bertemu, saya bertanya padanya "siapa yg sakit bu?", "suami saya" balasnya, "ooh sakit apa" lanjut saya, diapun menjawab "kanker liver, alhamdulillah sudah membaik", dalam hati, saya berkata "kanker liver, tentu saya tahu "apa artinya", tapi ketika mendengar "alhamdulillah sudah membaik" saya diam dan teringat cerita kodok tadi, saya percaya mungkin saja suami ibu ini akan menjadi satu-satunya kodok yang naik ke puncak, dan tentu saja saya tidak mau menjadi kodok-kodok yang meneriaki peserta lomba itu, kenapa, karena saat itu saya bukan dokter, saya hanya teman ibu itu, yang berbagi kesedihan dan harapan. Harapan untuk kesembuhan. walaupun sebenarnya saya tahu apa "arti" harapan itu.


Sebagai satu-satunya orang sebangsa, sesuku dan se-iman yang saya kenal dekat dinegara itu (tentunya disamping paman saya). saya sungguh berharap suami ibu itu sembuh. walaupun ingin sekali saya ceritakan apa yang diceritakan dekan saya kepadanya, tapi saya berfikir, ah apakah itu tidak menghancurkan harapannya, lalu saya terdiam.


Beberapa hari kemudian, ketika dalam perjalanan menemani ibu itu membeli souvenir, karena beliau dan suaminya akan pulang, kenapa ? sembuhkah ? ternyata tidak, dokter menyatakan sudah "angkat tangan", ternyata sebelumnya juga dokter pernah bilang seperti itu, tapi ibu itu tidak menyerah, dan berkata kepada dokter itu untuk jangan menyerah. tapi sekarang sepertinya semua pengobatan sudah dicoba dan hasilnya tidak sesuai harapan.


Pada ibu itu saya lihat kekecewaan tapi tidak saya lihat keputusaan, saya lihat optimisme bahwa suaminya akan sembuh -walaupun bukan disini-, saya lihat semangatnya.


Pada saat itulah saya bercerita, tentang cerita dekan saya -cerita yang benar-benar merubah paradigma saya, apa itu sembuh, apa itu sakit-, saya bercerita tentang kesembuhan yang bukan hanya terbebas dari penyakit, tapi menerima bahwa dia sakit dan tidak putus asa untuk itu juga disebut sembuh,tentang terbebas dari nyeri itu juga sembuh, tentang bisa beraktivitas tanpa bantuan orang itu juga sembuh.

Mendekatkan diri kepada yg Maha Memiliki dan ikhlas menerima apa yang ada itu juga disebut sembuh....


lalu kami terdiam.....


Tidak lepas optimisme dari ibu itu bahwa suaminya akan sembuh, beliau juga memutuskan bahwa tidak perlu memberitahu suaminya mengenai penyakitnya, saya setuju, karena saya berharap, sungguh berharap, suaminya adalah "satu-satunya kodok yang mencapai puncak" saya sungguh berharap bahwa suaminya sembuh,


Lalu dua bulan kemudian,,,

jam 8.30 pagi ketika makan pagi dan melakukan rutinitas sebagai koass. HP saya berdering. kring..kring..
"ini naufal?", "iya" jawab saya, lalu ibu itu berkata :
"suami saya sudah meninggal hari jumat kemarin"
Innalillahi wa innalillahi raji'un



Selasa, 19 Mei 2009

Jangan Lupa,


kata bapakku :
" Dimana pun kau berada
Jangan lupa, darimana kau berasal "
----------------------------------------------------

Minggu, 17 Mei 2009

Mimpi

Kurindukan ketika dahulu kita bermain bersama
......
Kurindukan ketika dahulu kita tertawa bersama
......
Kurindukan ketika dahulu kita belajar bersama

.............
Kurindukan ketika dahulu kita berjuang bersama
.........

Kurindukan..
Mimpi kita

….bersama, Merubah Dunia…

dunia kita, Indonesia

Kamis, 14 Mei 2009

- Hari ini -

" Hari ini adalah hari Kita
Bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala keburukannya
& Bukan juga hari esok yang belum tentu datangnya
Umur kita mungkin tinggal HARI INI
Maka anggaplah masa hidup kita hanya HARI INI saja,
Dengan begitu kita tak akan tercabik-cabik diantara
Kerasahan,
Kesedihan,
& Duka masa lalu
Tidak Pula oleh Bayangan masa depan penuh ketidakpastian & acap kali menakutkan.
Jadi berikanlah yang terbaik untuk akhirat dan duniamu

- HARI INI-

(Aidh Al Qarni)

Sabtu, 02 Mei 2009

Our Job :

Tugas kita :

Dahulu entah SMP,, entah SMA ada film yang saya senangi, judulnya ER, bercerita tentang kehidupan dokter di ruang gawat darurat, dengan berbagai ceritanya, pasien masuk dengan kondisi yang parah dan dapat selamat, saya paling senang ketika melihat pasien dengan henti jantung karena VT lalu di DC shock dan akhirnya selamat.
mungkin film itulah yang merasuk kedalam alam bawah sadar saya, sehingga saya memilih masuk kedokteran, walaupun sepertinya bukan minat dan bakat saya. Saya ingin menyelamatkan orang, sesimple itu pikiran saya.


6 tahun berikutnya

4 tahun 3 bulan belajar dikampus dan akhirnya ..
lulus jadi sarjana kedokteran, saatnya menjalani masa klinik, masa yang ditunggu dengan cemas-cemas harap [lebih banyak cemasnya], lalu saya stase bagian penyakit dalam, lalu apa yg terjadi ternyata ER itu memang hanya film fiksi, kenyataanya begitu sedikit pasien yang sebenarnya dapat disembuhkan, di penyakit dalam saya menemukan banyak sekali pasien gagal ginjal yang harus cuci darah 2 minggu sekali, pasien dengan sirosis hepatis dengan bengkak seluruh tubuh, satu-satunya terapi yaitu transplantasi. dan negara kita, transplantasi sepertinya masih mimpi.
Banyak juga Pasien kanker yang sudah terminal, dan lainnya, dan memang Begitu banyak pasien yang dalam tanda kutip "tidak bisa disembuhkan", dan oh begitu banyak. Lalu saya mulai berfikir sebenarnya untuk apa saya jadi dokter, tidak seperti film ER, disini begitu banyak pasien yang hanya tinggal menunggu ajalnya tiba.
Lalu saya stase ruang 29, ruang khusus HIV, pasien kurus, yang hanya diselimuti kulit tanpa daging, mulut penuh dengan jamur candida, lemah tidak berdaya, lalu keluarga pasien yang menunggui disampingnya entah sampai kapan... saya berfikir dokter itu bisa APA??!! apakah hanya bisa mengobati batuk, pilek, panas sajakah...
atau apakah pasien itu harus punya ratusan juta untuk mendapat terapi yang seharusnya dilakukan. Kemoterapi, transplantasi, operasi, itu semua makan biaya yang luar biasa mahalnya, jika pasien tidak mampu, lalu dokter bisa apa??

ah.. saya kehilangan arah
hingga suatu ketika

morning report, salah satu dosen bercerita..
sebenarnya apa sih tugas seorang dokter?

what a job of a doctor??
he says :
to cure is seldom
to relieve is often
to comfort is always
that a job of a doctor

aahh..
benar sekali, memang sangat sedikit penyakit yang bisa disembuhkan oleh dokter, seringkali penyakit itu hanya dikurangi, atau dihambat agar tidak kambuh, dan ternyata tugas seorang dokter itu membuat pasien nyaman (comfortable), nyaman dalam arti luas, termasuk menerima penyakitnya (accepting).

benar membantu agar pasien menerima penyakitnya, membantu pasien dan juga keluarganya menerima, bahwa penyakitnya "tidak" bisa disembuhkan hanya bisa "dikendalikan".

hingga suatu ketika ada pasien HIV, masih muda, sekitar 26 tahun, tidak sadar, dengan tubuh kurus kering, ditunggui oleh ayahnya 24 jam sehari selama seminggu, dengan biaya sendiri (bukan gakin), dalam sehari menghabiskan ratusan ribu. Penyakit yang sudah jelas akhirnya dan entah sampai kapan harus dirawat.
Lalu Kita bisa berkata pada bapaknya : " pak, semoga ikhlas ya pak, karena jika ikhlas maka ALLAH yang membalasnya, tenaga, waktu dan biaya yang bapak keluarkan semoga diganti berlipat-lipat oleh ALLAH, karena jika tidak ikhlas maka segala usaha bapak sia-sia, tidak mendapat apapun selain letih dan lelah", mencoba membantu bapak itu menerima takdirnya dan mencari hikmah dibaliknya. dengan kata lain membuatnya nyaman - to comfort.

hingga 5 hari kemudian, ketika pasien itu meninggal, bapak menangis dan memeluk kita sambil berkata :

" terimakasih, dok".